Oleh: Dr Bambang Heru Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS dan Sekretaris Ikatan Perstatistikan Indonesia (ISI), atau Statistika Indonesia.
Tingkat pertumbuhan
ekonomi merupakan indikator kinerja makro yang sangat populer, dan dalam
hitungannya merupakan derivasi dari PDB (produk domestik bruto) atau GDP (gross
domestic product). Popularitasnya disebabkan banyaknya kaitan penggunaan
indikator tersebut dengan kegunaan praktis dalam perencanaan dan evaluasi
pembangunan. Sering kita baca/dengar berita dari media tentang tingkat defisit
anggaran, pendapatan per kapita, investasi, maupun kontribusi ekonomi sektoral,
yang semuanya dikaitkan dengan besaran PDB.
Di tengah meluasnya
penggunaan indikator tersebut, masih sering terjadi salah tafsir sehingga
masyarakat seolah dihadapkan kepada anomali, dan secara ekonomi merugikan. Ada
pendapat, apabila pertumbuhan ekonomi tinggi, secara otomatis seluruh
masyarakat akan tambah sejahtera serta kemiskinan dan pengangguran berkurang.
Benarkah analisis tersebut? Mungkin benar, tetapi tidak sepenuhnya, atau bahkan
mungkin sebaliknya.
Sesuatu yang sering
dibanggakan banyak pihak adalah bahwa di tengah krisis ekonomi dunia, ekonomi
Indonesia masih tumbuh 4,5% (2008 sebesar 6%). Dengan tingkat pertumbuhan
penduduk sebesar 1,34%, jelas ekonomi per kapita rata-rata masih tumbuh di atas
3%. Namun, kesimpulan akan lain apabila dimasukkan variabel pemerataan, dan di
sinilah masalah muncul sehingga analisis yang berbasis pertumbuhan tanpa
mengacu kepada pengertian konsep dan definisi serta tata cara penghitungannya
sering membuat kesimpulan menjadi bias. Kalau hanya sebagai kajian akademis masih
'baik-baik saja'. Celakanya apabila digunakan untuk kebijakan ekonomi, bisa
menjerumuskan dan merugikan.
Secara konseptual,
setiap aktivitas ekonomi akan menghasilkan nilai tambah (value added)-–nilai
yang ditambahkan atas nilai bahan baku/input antara--yang merupakan balas jasa
faktor produksi--tenaga kerja, tanah, modal, dan kewiraswastaan.
Penjumlahan value added di suatu wilayah teritorial
(Indonesia) dan dalam selang waktu tertentu (triwulan, setahun) menghasilkan
PDB wilayah tersebut.
Dengan demikian, penguasaan faktor produksi menentukan kepemilikan nilai
tambah. Selanjutnya, pertambahan riil PDB dalam triwulan/setahun dinamakan
pertumbuhan ekonomi triwulan/tahun bersangkutan. Kata riil mengacu kepada PDB
yang telah 'dihilangkan' inflasinya sehingga pertumbuhan ekonomi sudah 'bersih'
dari pengaruh perubahan harga dan merupakan pertumbuhan jumlah 'kuantitas'
produk.
Benarkah pertumbuhan yang
terjadi telah menyejahterakan masyarakat?
Masalah penguasaan
faktor produksi dan besaran kontribusi sektoral menjadi faktor nyata
'melesetnya' interpretasi yang merugikan masyarakat, dan berikut ini diberikan
uraian anomali akibat salah interpretasi.