Translate Page

Thursday, August 16, 2018

Mimpi Itu... Harus Dijemput! (Bagian 2: IELTS dan Beasiswa LPDP)


*Tulisan di bawah ini sebelumnya sudah dipublish di arabui2010.id. Seiring dengan hangusnya domain tersebut, makan terhapuslah postingan seri 'Mimpi itu...'. So, I repost it to share the whole story!
**Klik disini untuk teman-teman yang sebelumnya mau baca Bagian 1 dari serial "Mimpi Itu... Harus Dijemput"

London, 10 Juni 2017

Mimpi itu tidak akan terwujud kalau tidak dimulai dengan menyusun langkah-langkah untuk mewujudkannya. Tapi kadang-kadang kita tidak punya banyak waktu untuk menunggu selesai menyusun langkah-langkah tersebut karena kita harus membuat keputusan yang segera. Begitupun dengan cerita saya di bagian ini. Dari Bukittinggi, besoknya ke Jakarta dan lusa ke Pare. Dari hasil IELTS hingga reporter junior? Sebulan kemudian, dari koran nasional ke beasiswa LPDP? Apa keputusan-keputusan spontan itu membuat saya berhasil?

Oktober 2014
Sore itu di Bukittinggi, saya sedang duduk di jendela rumah gadang ibu saya sambil bercengkrama via Line dengan salah seorang sahabat karib saya. Dia bercerita dia berencana akan berangkat ke Kampung Inggris untuk kursus Bahasa Inggris. Setelah saya bertanya-tanya tentang keputusan dia ke Pare akhirnya saya tertarik ikut juga.
Dengan izin ibunda, saya pulang ke Jakarta esok harinya (iya, besoknya banget) untuk mempersiapkan kebutuhan yg perlu dibawa karena lusa saya sudah harus berangkat dan berada di kereta yang sama dengan sahabat saya. Selama waktu singkat ini saya juga melakukan sedikit research, bahasa sekarangnya, kepo, tentang apa-apa yang perlu saya ketahui tentang belajar bahasa Inggris di pare. Tidak lupa saya menghubungi seorang senior saya di Sastra Arab UI yang saya ketahui sedang belajar di sana.
Pertualangan menjemput mimpi selanjutnya dimulai!
Keberangkatan yang mendadak membuat saya belum sempat mempersiapkan semua hal. Saya belum menentukan tempat tinggal dan tempat les yang saya tuju. Tapi niat baik selalu mendapatkan jalannya. Sesampainya di Pare, saya disambut oleh senior saya dan dikenalkan kepada teman perempuannya dimana saya dan sahabat saya bisa beristirahat setelah semalaman di perjalanan. Di sela-sela makan siang, senior saya dan teman perempuannya memberi saya informasi tentang mencari tempat tinggal dan tempat les.
Perjalanan pertama hari itu adalah berkeliling Kampung Inggris untuk mencari tempat tinggal. Ada tiga jenis tempat tinggal yang bisa dipilih saat itu. Camp dari tempat kursus, camp yang terpisah dengan tempat kursus dan kamar kos. Sore itu saya memilih sebuah camp yang terpisah dari tempat kursus dan sempat merasakan beberapa malam di camp, tapi pada umumnya camp punya jadwal-jadwal belajar dan ibadah (shalat dan mengaji) yang wajib diikuti oleh penghuni camp. Saya secara pribadi tidak suka dengan keramaian dan saat itu saya perlu tempat yang lebih tenang untuk belajar dan apa yang saya pelajari berbeda dengan orang-orang di camp tersebut jadi saya harus belajar sendiri. Jadi saya dan sahabat saya memutuskan pindah ke kos. Disini saya merasa lebih nyaman, bisa tenang dalam belajar dan bisa mengatur jadwal kegiatan saya sendiri.
Sekarang, tinggal pilih tempat kursus. Sebelum kesini saya sudah lihat paket-paket apa yang ditawarkan oleh berbagai macam tempat kursus dan saya sudah tahu paket apa yang sesuai kebutuhan saya. Dengan bantuan senior saya tadi, saya diberi pencerahan tempat kursus mana saja yang sesuai dengan kebutuhan saya. Ada banyak sekali tempat-tempat kursus di Kampung Inggris, dan akan terus berkembang seiring banyaknya alumni yang lulus dan membuka tempat kursus baru. Jadi, perlu dipelajari sebelum berangkat apa yang dibutuhkan dan tempat kursus mana yang menawarkan program tersebut.
Tujuan utama saya ke Kampung Inggris adalah mempersiapkan IELTS. Saya memberi waktu 2  bulan untuk diri saya sendiri. Dalam kurun waktu tersebut, saya sudah menyelesaikan program Grammar Basic Program 2, Writing, dan dua kali IELTS Preparation. Di luar kursus, saya menambah privat untuk grammar dan ikut dalam study group untuk speaking IELTS. Semuanya dilakukan Senin hingga Jumat dari jam 8 pagi hingga 9 malam sampai hampir tidak ada waktu untuk main. Saya lebih sering mengakhirkan tidur demi mengerjakan latihan tambahan. Kesempatan istirahat hanya di waktu makan siang atau makan malam atau hari Sabtu dan Minggu.
Selain mempersiapkan bahasa Inggris, saya juga mulai mencari tahu tentang universitas-universitas yang menawarkan program untuk minat saya. Saya kirim email ke kampus-kampus tersebut atau mendaftarkan diri ke milis-milis mereka. Setelah membuat list plus minus universitas tersebut. Prioritas saya pertama jatuh pada SOAS, University of London dan kedua Leiden University. Selama saya di Pare, saya dua kali bertemu dengan international officer dari SOAS, pertama di Jakarta dan kedua di Surabaya. Saya mengejar beliau yang sedang ada tugas ke Indonesia, demi bisa berdiskusi secara langsung dan mengenali kampus tujuan saya. Setelah komunikasi yang panjang, saya pun semakin mantap ingin kuliah di SOAS.

Mimpi Itu... Harus Dijemput (Bagian 1: Kuliah di Luar Negeri)


*tulisan di bawah ini sebelumnya sudah dipublish di arabui2010.id. Seiring dengan hangusnya domain tersebut, maka terhapuslah postingan seri 'Mimpi itu...'. So, I repost it to share the whole story!

(Seri ‘Mimpi Itu…’ bagian 1)

London, 23 April 2017

“Mimpi itu harus dijemput!” pernah saya dengar di suatu kesempatan atau buku atau postingan motivator-motivator di media sosial. Menurut saya, ini adalah judul yang tepat untuk tulisan saya berikut ini. Kenapa? Baca dulu ceritanya.

(Semester 7, Akhir 2013)
Prof Joel S. Kahn, seorang visiting Professor dari University of Melbourne hadir di dalam kelas Islamologi yang sedang saya ambil untuk mendengar penjelasan tentang laporan penelitian bang Lathif (Arab 2008) mengenai praktik Sufi di Purworejo, Jawa Tengah.

Seperti biasa, saya duduk di barisan bangku paling belakang. Bangun untuk kelas jam 8.00 pagi di hari Jumat adalah hal terberat (iyalah bau-bau akhir pekan, sob!), meskipun saya suka sekali mata kuliah latar belakang seperti Islamologi ini. Laporan penelitian lapangan bang Lathif menarik perhatian saya, karena menurut saya menemukan hal baru yang orang lain tidak banyak tahu dan bisa membaginya dalam bentuk tulisan akademis itu keren. Jadilah saya cukup aktif bertanya dengan bang Lathif dalam sesi tanya jawab tentang teknis penelitian dan hasil penemuannya di lapangan.

Sorenya, bu Emma Soekarba, dosen kami untuk mata kuliah Islamologi mencari saya dan saya menemuinya di jurusan. Tidak ada pikiran lain selain “ah paling urusan jurusan atau IKABA’,” di otak saya karena saya memang saat itu saya dalam kapasitas tersebut. Disitu sudah ada Prof. Kahn sedang berbincang-bincang dengan beliau. Jadilah, saya menyapa bu Emma dan memutuskan untuk menunggu beliau sehingga selesai urusannya dengan Prof. Kahn. Ternyata, bu Emma malah mengajak saya duduk bareng dengan beliau dan Prof. Kahn. Dikenalkan dengan salah satu professor penting dari Australia waktu itu menurut saya di luar ekspektasi saya. Sampai saya bertemu dengan Prof. Kahn saya cuma pengen jadi pramugari yang kerjaannya terbang keliling dunia (gak ada hubungannya sama Sastra Arab, emang).

 Dari obrolan saya dengan Prof. Kahn, mungkin bu Emma melihat sesuatu dalam diri saya (yang saya sendiri waktu itu gak lihat) jadi beliau menyarankan saya untuk berdiskusi lebih jauh tentang melanjutkan studi ke luar negeri dengan Prof. Kahn. Gayung pun bersambut, beliau mengiyakan saran bu Emma dengan mengundang saya ke ruangannya di minggu berikutnya. Tanpa sadar saya pun menjadi sangat excited dan menunggu waktu yang dijanjikan tiba!

Datang dengan tangan kosong menemui orang sehebat Prof. Kahn bukan impresi yang baik. Jadilah menuju hari tersebut saya melakukan riset mini tentang S2 di Australia: beasiswa, kampus, dan jurusan yang terkait dengan minat saya saat itu. Ketika pertemuan tersebut, saya diberikan insight tentang sistem pendidikan Australia plus beasiswa-beasiswa yang ditawarkan, motivasi dan hal-hal yang perlu disiapkan dan bagaimana menyiapkannya, serta nama-nama orang penting yang bisa saya mintai pendapat dan saran yang lebih spesifik. Hasil pertemuan tersebut adalah: saya harus bisa kuliah ke luar negeri!

Sepanjang perjalanan di tahun terakhir sarjana saya, bu Emma masih semangat mengenalkan saya dengan orang-orang yang berpengaruh terhadap dunia pembeasiswaan (Nabila, Fairuz dan Qolbi pasti ingat perkenalan pertama dengan Mr Ambassador of Turki untuk Indonesia). Tapi yang harus diselesaikan terlebih dahulu apa yang ada di depan mata, seperti…. (jangan disebut, jangan disebut, jangan disebut, please) SKRIPSI! Hahaha serius ini adalah hal yang membuat akhir masa perkuliahan saya di UI seperti roller-coaster, naik-turun, tangis dan (tidak banyak) tawa, begadang dan  kurang tidur dengan berpuluh-puluh botol dan sachet kopi instan, diikuti dengan masalah internal dan eksternal. Semua yang menulis skripsi pasti tau rasanya, jadi biarkan saya menyudahi curhatan kenangan pahit masa-masa penulisan skripsi itu ya hahaha.

Dari awal pengumpulan proposal ke pak Letmiros, saya sudah kena mini-sidang karena proposal saya langsung dibaca di tempat, dan dibombardir pertanyaan-pertanyaan yang saat itu saya juga belum tahu jawabannya. Pak, namanya aja proposal, isinya paling “wallahu a`lam”, pengen jawab gitu tapi takut dimarahin hahaha. Setelah dihujani pertanyaan, akhirnya beliau memutuskan bahwa pembimbing saya adalah… bu Emma! Ketebak gak sih? Kebanyakan mahasiswa yang mengumpulkan proposal tentang latar belakang pasti ngeri kalau dapat pembimbing beliau pasalnya cerita yang sudah-sudah adalah bagaimana sulitnya menembus ACC dari beliau (contohnya bang Lathif tadi, lulusnya di batas maksimum sarjana). Tapi namanya juga Indah, kalau dikasih tantangan ya ditantang balik. “Saya harus bisa menyelesaikan skripsi dalam waktu satu semester dengan nilai A, siapapun pembimbingnya. Juni ACC, Juli sidang, Agustus Wisuda. Oke! Sip!”

Pada perjalanannya, banyak hal yang ditanamkan oleh bu Emma untuk saya. Salah satu di antaranya adalah kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Saya tidak pernah melakukan penelitian lapangan sendiri sebelumnya, tapi kala itu saya harus melakukannya sendiri, dan beliau yang percaya saya bisa mengerjakannya sendiri, dan nyatanya memang bisa kok. Kedua, pengenalan pentingnya nilai orisinalitas terhadap kerja akademik. Tulisan skripsi saya mengangkat topik tentang sejarah pesantren di Sumatera Barat (bukan di Jawa) dan sedikit menyinggung peran pesantren dengan pemberontakan melawan kolonialisme dan DI/TII. Maksudnya bukan belum ada yang pernah bahas tentang hal tersebut, tapi bagaimana menghadirkan fakta dan analisa baru yang berbeda dari karya-karya akademis sebelumnya. Ketiga, kesantunan dan kepatuhan terhadap orang yang lebih tua. Beliau menekankan pentingnya restu dan doa tidak hanya dari orang tua, tetapi juga orang-orang yang dituakan seperti guru dan dosen. Saya ingat sepanjang penulisan tersebut, saya kerap diingatkan untuk berdiskusi dengan dosen-dosen yang lebih senior di bidang yang sama seperti pak Minal dan pak Juhdi. Terakhir, pentingnya membangun koneksi dengan orang-orang hebat di luar lingkungan kita. Di atas langit, masih ada langit. Kesadaran bahwa diri sendiri tidaklah paling hebat, di luar sana masih banyak yang lebih hebat dan penting untuk diri sendiri untuk membangun hubungan dan mengambil pelajaran yang orang-orang tersebut sudah terlebih dulu alami dari kita.

Singkat cerita, skripsi saya selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan dan sesuai target.

Terus kenapa saya bahas skripsi? Apakah saya melupakan mimpi saya untuk melanjutkan master ke luar negeri? Atau pemikiran saya pendek, hanya sanggup memikirkan dan merencanakan skripsi, tapi tidak untuk memikirkan rencana jangka panjang seperti S2 dengan beasiswa?

Wednesday, August 8, 2018

Analisis Konversi Nilai Lulusan Jerman ke IPK Indonesia (Standar Dikti)

Oleh: Teuku Bahran Basyiran
Sudah menjadi fenomena umum bagi warga Indonesia yang sedang mengarungi perkuliahan di luar negeri untuk bertanya-tanya tentang “Kira-kira bagaimana ya nilai kuliah aku di Jerman ini kalau dikonversi ke IPK Indonesia?”, “Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (a.k.a. Dikti) berharap lebih gak ya kepada lulusan made in Germany, sehingga konversi nilainya bisa jadi bencana buat aku (i.e. yang banyak nilai befriedigend atau ausreichend)?”, “Dikti menerapkan standar yang tinggi atau rendah ya?” dan rasa penasaran lainnya.
Hasil pencarian saya di internet, belum ada konversi resmi yang dipublikasi oleh Dikti untuk Jerman grading system. Dikti hanya mengumumkan Peraturan Menteri tentang Penyetaraan Ijazah dan Konversi IPK Lulusan PT Luar Negeri tanpa ada informasi skema konversi apapun (Ristek Dikti, 2017). Namun demikian, ada audiensi kerjasama yang dilakukan oleh PPI Dunia dengan Dikti untuk memahai konversi nilai luar negeri seperti lulusan dari Belanda, USA, Perancis, Serbia, Maroko, Tunisia, Mesir, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Brunei, etc (PPI Dunia, 2015). Sayangnya, mereka tidak mengupas tentang sistem penilaian Jerman di program tersebut. Karena itu, saya tertarik untuk menelisik akan hal ini dan ingin berbagi kepada teman-teman. Perlu digarisbawahi bahwa apa yang saya tulis ini bukan output yang pasti benar, karena ini hasil analisis dari informasi yang saya dapat.

Secara umum, tingkatan penilaian di Jerman berlawanan arah dengan nilai IPK. Nilai tertinggi 1.0, nilai threshold untuk lulus sebuah matakuliah 4.0, dan yang paling rendah 5.0. Di program Doktor S3 (i.e. PhD/Promovierende), ada nilai 0.0-0.7 yang bisa diajukan ke Examination Office atau prüfungsamt untuk mendapatkan Summa Cum Laude, sedangkan nilai 1.0 disini untuk Magna Cum Laude. Saya coba membandingkan skema penilaian dan keterangan klasifikasi nilai antara Jerman dan Indonesia:

Di Jerman sendiri, GPA paling aman aman adalah 2.5, sebagaimana banyak diterapkan sebagai mininum grade di program doktoral dan job position perusahaan ternama. Nevertheless, interval nilai yang paling krusial bagi banyak pelajar di Jerman adalah 2.7-4.0. Bagaimana kalkulasi Dikti untuk nilai “B” atau 3.00 di IPK Indonesia terhadap nilai lulusan Jerman? Apakah 2.7, 3.0, atau 4.0? Banyak yang beranggapan, 2.7 merupakan threshold untuk kategori nilai “baik”. Akan tetapi, ada pengalaman dari salah satu alumni S1 UGM dan S2 Jerman yang mengatakan nilai “B”/3.00 di Indonesia berbanding lurus dengan 3.0 di Jerman. Jadi ekuivalensi penilaian kedua negara menemui titik potong di kategori nilai tersebut. Berikut saya kutip tabel dari situs Magister Manajemen UGM untuk konversi nilai Jerman ke Indonesia (OIA MM UGM, 2018):


Dari table di atas bisa disimpulkan nilai Jerman 2.7, 3.0, dan 4.0 berturut-turut sama dengan nilai Indonesia “B+”, “B”, dan “C”. Ternyata ini lebih baik dari dugaan umum para calon pemimpin Indonesia yang kuliah di Jerman yang memprediksi ketiga nilai tersebut ekuivalen dengan “B”, “C”, dan “D” secara berturut-turut. Setali tiga uang, kesimpulan yang sama juga dapat ditemukan dengan melakukan simulasi konversi nilai di setiap grade level Jerman ke US Grade (diadopsi Indonesia menjadi sistem IPK) melalui GPA calculator (Foreign Credits, 2018):

Di sisi lain, standar konversi yang agak tinggi bisa ditemukan jika grade dihitung dengan menggunakan Bavarian Formula (TUM, 2018). Dalam simulasi, teman-teman diharuskan untuk menginformasikan standar grading di Indonesia di mana maximum grade (4.00) dan minimum passing grade (2.00), baru kemudian isi dengan IPK yang ingin dikonversi. Dengan estimasi ini, nilai “B” di Indonesia proporsional dengan nilai 2.5 di Jerman. Sebenarnya, secara umum formula ini lebih sering dan lebih tepat digunakan untuk mengkonversi IPK Indonesia ke GPA Jerman. Dengan asumsi IPK Indonesia sama dengan US grade, hasil implementasi metode ini untuk setiap tingkatan nilai (kolom “tertiary”) serta korelasi linearnya dengan persentase jawaban benar dalam ujian (kolom “Percentage”) adalah sebagai berikut (Wikipedia, 2018):

Lantas, metode kalkulasi yang mana yang kredibel dan bisa dipercaya? Untuk ketentraman batin, saya pribadi berpegang teguh dengan standar konversi MM UGM dengan didasari beberapa alasan: (1) UGM merupakan salah satu dari top 10 institusi pendidikan tinggi terbaik di Indonesia; (2) Banyak lulusan UGM yang melanjutkan studi di Jerman; (3) Standar konversinya “ramah lingkungan” dengan nilai batas aman “B” di sistem Indonesia sama dengan nilai 3.0 dan 3.3 di Jerman; dan (4) Tidak jauh berbeda dengan berbagai estimasi US GPA di internet seperti Foreign Experts, WES Tools, etc.
Meskipun demikian, saya berharap ke depan Kementerian Ristek-Dikti agar mempublikasikan table konversi nilai dari GPA Jerman ke IPK Indonesia. Ini bisa sangat bermanfaat bagi teman-teman pelajar di Jerman untuk dapat berestimasi selama menjalani kuliah dan memasang target nilai tertentu. Selanjutnya, dengan IPK yang baik, mereka yang memiliki keinginan untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara ini dapat bersaing secara kompetitif di dunia kerja bersama dengan lulusan dalam negeri. Semuanya demi bangsa dan negara kita, Indonesia!

Referensi:
Foreign Credits (Retrieved in 2018). Link: https://www.foreigncredits.com/Resources/GPA-Calculator/
Office of International Affairs Magister Manajemen UGM (Retrieved in 2018). Link: http://oia.mm.feb.ugm.ac.id/aturan-konversi-nilai-matakuliah/.