Translate Page

Showing posts with label Jerman. Show all posts
Showing posts with label Jerman. Show all posts

Wednesday, August 8, 2018

Analisis Konversi Nilai Lulusan Jerman ke IPK Indonesia (Standar Dikti)

Oleh: Teuku Bahran Basyiran
Sudah menjadi fenomena umum bagi warga Indonesia yang sedang mengarungi perkuliahan di luar negeri untuk bertanya-tanya tentang “Kira-kira bagaimana ya nilai kuliah aku di Jerman ini kalau dikonversi ke IPK Indonesia?”, “Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (a.k.a. Dikti) berharap lebih gak ya kepada lulusan made in Germany, sehingga konversi nilainya bisa jadi bencana buat aku (i.e. yang banyak nilai befriedigend atau ausreichend)?”, “Dikti menerapkan standar yang tinggi atau rendah ya?” dan rasa penasaran lainnya.
Hasil pencarian saya di internet, belum ada konversi resmi yang dipublikasi oleh Dikti untuk Jerman grading system. Dikti hanya mengumumkan Peraturan Menteri tentang Penyetaraan Ijazah dan Konversi IPK Lulusan PT Luar Negeri tanpa ada informasi skema konversi apapun (Ristek Dikti, 2017). Namun demikian, ada audiensi kerjasama yang dilakukan oleh PPI Dunia dengan Dikti untuk memahai konversi nilai luar negeri seperti lulusan dari Belanda, USA, Perancis, Serbia, Maroko, Tunisia, Mesir, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Brunei, etc (PPI Dunia, 2015). Sayangnya, mereka tidak mengupas tentang sistem penilaian Jerman di program tersebut. Karena itu, saya tertarik untuk menelisik akan hal ini dan ingin berbagi kepada teman-teman. Perlu digarisbawahi bahwa apa yang saya tulis ini bukan output yang pasti benar, karena ini hasil analisis dari informasi yang saya dapat.

Secara umum, tingkatan penilaian di Jerman berlawanan arah dengan nilai IPK. Nilai tertinggi 1.0, nilai threshold untuk lulus sebuah matakuliah 4.0, dan yang paling rendah 5.0. Di program Doktor S3 (i.e. PhD/Promovierende), ada nilai 0.0-0.7 yang bisa diajukan ke Examination Office atau prüfungsamt untuk mendapatkan Summa Cum Laude, sedangkan nilai 1.0 disini untuk Magna Cum Laude. Saya coba membandingkan skema penilaian dan keterangan klasifikasi nilai antara Jerman dan Indonesia:

Di Jerman sendiri, GPA paling aman aman adalah 2.5, sebagaimana banyak diterapkan sebagai mininum grade di program doktoral dan job position perusahaan ternama. Nevertheless, interval nilai yang paling krusial bagi banyak pelajar di Jerman adalah 2.7-4.0. Bagaimana kalkulasi Dikti untuk nilai “B” atau 3.00 di IPK Indonesia terhadap nilai lulusan Jerman? Apakah 2.7, 3.0, atau 4.0? Banyak yang beranggapan, 2.7 merupakan threshold untuk kategori nilai “baik”. Akan tetapi, ada pengalaman dari salah satu alumni S1 UGM dan S2 Jerman yang mengatakan nilai “B”/3.00 di Indonesia berbanding lurus dengan 3.0 di Jerman. Jadi ekuivalensi penilaian kedua negara menemui titik potong di kategori nilai tersebut. Berikut saya kutip tabel dari situs Magister Manajemen UGM untuk konversi nilai Jerman ke Indonesia (OIA MM UGM, 2018):


Dari table di atas bisa disimpulkan nilai Jerman 2.7, 3.0, dan 4.0 berturut-turut sama dengan nilai Indonesia “B+”, “B”, dan “C”. Ternyata ini lebih baik dari dugaan umum para calon pemimpin Indonesia yang kuliah di Jerman yang memprediksi ketiga nilai tersebut ekuivalen dengan “B”, “C”, dan “D” secara berturut-turut. Setali tiga uang, kesimpulan yang sama juga dapat ditemukan dengan melakukan simulasi konversi nilai di setiap grade level Jerman ke US Grade (diadopsi Indonesia menjadi sistem IPK) melalui GPA calculator (Foreign Credits, 2018):

Di sisi lain, standar konversi yang agak tinggi bisa ditemukan jika grade dihitung dengan menggunakan Bavarian Formula (TUM, 2018). Dalam simulasi, teman-teman diharuskan untuk menginformasikan standar grading di Indonesia di mana maximum grade (4.00) dan minimum passing grade (2.00), baru kemudian isi dengan IPK yang ingin dikonversi. Dengan estimasi ini, nilai “B” di Indonesia proporsional dengan nilai 2.5 di Jerman. Sebenarnya, secara umum formula ini lebih sering dan lebih tepat digunakan untuk mengkonversi IPK Indonesia ke GPA Jerman. Dengan asumsi IPK Indonesia sama dengan US grade, hasil implementasi metode ini untuk setiap tingkatan nilai (kolom “tertiary”) serta korelasi linearnya dengan persentase jawaban benar dalam ujian (kolom “Percentage”) adalah sebagai berikut (Wikipedia, 2018):

Lantas, metode kalkulasi yang mana yang kredibel dan bisa dipercaya? Untuk ketentraman batin, saya pribadi berpegang teguh dengan standar konversi MM UGM dengan didasari beberapa alasan: (1) UGM merupakan salah satu dari top 10 institusi pendidikan tinggi terbaik di Indonesia; (2) Banyak lulusan UGM yang melanjutkan studi di Jerman; (3) Standar konversinya “ramah lingkungan” dengan nilai batas aman “B” di sistem Indonesia sama dengan nilai 3.0 dan 3.3 di Jerman; dan (4) Tidak jauh berbeda dengan berbagai estimasi US GPA di internet seperti Foreign Experts, WES Tools, etc.
Meskipun demikian, saya berharap ke depan Kementerian Ristek-Dikti agar mempublikasikan table konversi nilai dari GPA Jerman ke IPK Indonesia. Ini bisa sangat bermanfaat bagi teman-teman pelajar di Jerman untuk dapat berestimasi selama menjalani kuliah dan memasang target nilai tertentu. Selanjutnya, dengan IPK yang baik, mereka yang memiliki keinginan untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara ini dapat bersaing secara kompetitif di dunia kerja bersama dengan lulusan dalam negeri. Semuanya demi bangsa dan negara kita, Indonesia!

Referensi:
Foreign Credits (Retrieved in 2018). Link: https://www.foreigncredits.com/Resources/GPA-Calculator/
Office of International Affairs Magister Manajemen UGM (Retrieved in 2018). Link: http://oia.mm.feb.ugm.ac.id/aturan-konversi-nilai-matakuliah/.

Thursday, June 21, 2018

Peluang Setelah Lulus Kuliah di Jerman: Program CIM


Oleh: Teuku Bahran Basyiran

Tulisan ini menginformasikan catatan dari diskusi di Asferadio Rakan IMAN edisi Juni 2018 – yang kebetulan saya menjadi pembawa acara –  bertemakan “Peluang Setelah Lulus Kuliah di Jerman”, dengan narasumber bang Syahrul Anwar, M.Sc. yang merupakan alumni Universität Münster (Master in Information Systems) dengan beasiswa DAAD-Aceh Batch 1 (tahun 2008) dan sekarang merupakan dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang sedang menjalani proyek di Max Planck Institut for Human History di Jena. Beliau sudah berpengalaman selama kurang lebih 6 tahun sejak beralmamater Jerman dalam perjalanan karir di berbagai program, bidang dan lembaga, serta juga berwirausaha. Berikut rangkuman ulasan dari narasumber, Syahrul, yang dapat bermanfaat kepada pembaca yang akan atau berencana menyandang gelar pendidikan “Made in Germany”.
Sebelum lulus dengan degree di Jerman, pastinya teman-teman memetakan rencana masa depan. Mau kemana? Kerja atau lanjut kuliah? Mau kerja apa? Atau mau bisnis apa? Start-up digital businessmanufacturing atau services? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebaiknya muncul di semester akhir pada masa studi. Sambil menyusun tesis, ada baiknya hal-hal sepertinya juga disusun. Jangan sampai ketika sudah menginjakkan kaki di tanah air, bingung mau ke arah mana dan harus melakukan aktivitas apa. Sepertinya yang dilakukan narasumber tempo hari yang melakukan rencana masa depan sebelum pulang ke Indonesia. 
Passion merupakan hal yang ambigu bagi fresh graduate dan beginner professionals, selain penting untuk menciptakan perjalanan karir yang nyaman, juga menimbulkan idealitas pandangan seseorang terhadap pekerjaannya yang berujung pada terlambatnya masuk ke dunia karir. Syahrul sendiri menyarankan teman-teman untuk mengesampingkan dulu passion di masa awal pulang di Indonesia dan cobalah jenis pekerjaan atau bidang yang berbeda-beda dengan memanfaatkan fasilitas dan keuntungan menjadi alumni Jerman.  Paling ideal itu kita udah tau passion kita dimana dan kita mendapatkan pekerjaan dengan kondisi kerja dan gaji juga baik. Tapi sayangnya butuh waktu untuk menentukan passion dan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai passion sekaligus baik secara ekonomi. Karena itu program-program dari pemerintah jerman sangat direkomendasi untuk dicoba sebagai jembatan menuju kondisi ideal itu.

Apa sih fasilitas dan keuntungan menjadi alumni Jerman? Salah satunya disediakan oleh Centre for International Migration and Development (CIM). CIM merupakan lembaga yang jointly run bersama Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan the German Federal Employment Agency di bidang Development and Labour Market Policy Expertise, yang menyediakan berbagai fasilitas ketenagakerjaan untuk mahasiswa lulusan Jerman dari negara kerjasama CIM untuk membangun perekonomian negara asalnya. Indonesia merupakan salah satu negara kerjasama. Organisasi ini memiliki berbagai macam program karir bagi lulusan Jerman (untuk features dan syarat-syarat umum bisa langsung terjun ke situs).