Translate Page

Monday, December 3, 2012

Menghina Rakyat (Indonesia)


Oleh Sri Palupi

Terhadap tuduhan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terkait mafianarkoba yang merambah Istana, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menegaskan, pihak Istana sangat keberatan dan merasa terhina.
Rasa terhina yang dipersoalkan Sudi Silalahi ini membuat saya berpikir, pihak Istana benar-benar keterlaluan. Mereka hanya peduli pada citranya sendiri.
Ketika rakyat direndahkan, dilecehkan, dijual murah, ditembaki, diculik, dan diambil organ tubuhnya, serta diperkosa berulang kali oleh pihak-pihak di luar negeri, pihak Istana tidak merasa terhina. Sampai sekarang mereka tetap bungkam.
Rupanya derita dan penghinaan rakyat oleh pihak-pihak di negara lain bukan prioritas Istana. Berulang kali pihak Istana menegaskan bahwa presiden tidak harus turun tangan untuk semua persoalan. Alasannya, sudah ada menteri yang mengurusi. Sementara itu, saya mencatat, presiden lebih banyak turun tangan untuk hal-hal yang menyangkut pujian, penghargaan, seremoni, dan berbagai urusan yang mendukung pencitraan Istana.
Kalaupun presiden turun tangan atas persoalan rakyat, itu terjadi karena tekanan massa. Jangankan merasa terhina terhadap penghinaan yang diderita rakyat, pihak Istana bahkan secara sistematis menghina rakyat dengan berbagai kebijakan dan kebungkamannya.

Tenaga kerja Indonesia
Masyarakat marah dengan berbagai kasus penganiayaan, penembakan brutal, dan pemerkosaan yang terus mendera tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, pihak Istana tetap bungkam. Sudah lama rakyat dijual murah bahkan diobral. Kita bisa temukan iklan jual murah TKI di koran-koran Singapura. TKI yang dikembalikan majikan kepada agen, dijual dan dipajang di pusat belanja. Bahkan, di kawasan Geylang, Singapura, para gadis remaja Indonesia dijual di pinggir jalan sebagai pekerja seks.
Terasa kesiangan ketika pemerintah baru bereaksi setelah iklan ”TKI on sale” diangkat Migrant Care. Terhadap jual murah TKI, pihak Istana juga bungkam. Mereka sibuk dengan pesta pemberian gelar kesatria bagi sang presiden.
TKI diakui sebagai penyumbang devisa dan pemberi solusi atas masalah pengangguran. Balasannya bukan subsidi, kemudahan, dan perlindungan optimal yang diterima TKI, melainkan tambahan masalah. Bibir pemerintah mengecam iklan ”TKI on sale”, tetapi pada saat yang sama tangannya jual murah TKI lewat perusahaan jasa TKI.
Betapa tidak. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengeluarkan aturan tentang kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN) yang wajib dimiliki TKI. Pencetakan kartu dibiayai dari APBN. Anehnya, untuk mendapatkan KTKLN, TKI dipaksa menggunakan jasa komersial PJTKI yang mewajibkan TKI membayar sedikitnya Rp 2 juta.
Kalau tidak, mereka tidak akan mendapatkan KTKLN dan tidak bisa berangkat sebab ada surat edaran BNP2TKI kepada perusahaan maskapai internasional untuk mencekal TKI yang tidak ber-KTKLN.
Akibatnya, banyak calon TKI yang bekerja dengan kontrak mandiri tanpa melalui PJTKI digagalkan keberangkatannya oleh pihak maskapai penerbangan. TKI dirugikan atas tiket pesawat yang dibatalkan dan kehilangan kesempatan kerja dengan gaji jauh lebih tinggi dibandingkan bila bekerja melalui PJTKI.
Sekadar contoh, Triyawati, calon TKI mandiri ke Singapura. Penerbangannya digagalkan AirAsia. Faridah Aini, calon TKI mandiri ke Dubai, penerbangannya digagalkan Garuda Indonesia. Nasib yang sama dialami Feri dan Nana, TKI Hongkong yang lagi cuti.

Masyarakat adat
Penghinaan tak hanya diderita TKI. Petani dan masyarakat adat tak kurang menderita. Di Papua, misalnya, tanah rakyat yang diambil untuk perkebunan sawit hanya diganti rugi 0,65 dollar AS per hektar. Kekayaan Papua disedot, sementara hak-hak dasar rakyat Papua, seperti pendidikan dan kesehatan, ditelantarkan. Daerah terkaya, tetapi masyarakatnya paling miskin.
Rakyat dibodohi dan dipermalukan. Sekadar contoh, seorang warga masyarakat adat asal Katingan, Kalimantan Tengah, 5 hektar tanahnya dirampas perusahaan sawit dan dipaksa menerima ganti rugi Rp 1,5 juta.
Merasa diperlakukan tak adil, ia mengadu kepada polisi dan pemerintah. Tidak ada respons, ia nekat mendatangi pihak perusahaan sawit. Dengan sinis perusahaan memintanya membawa surat kelakuan baik dari kepolisian dan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Artinya, mempertanyakan ketidakadilan identik dengan kejahatan dan ketidakwarasan.
Dengan meningkatnya investasi di sektor perkebunan dan pertambangan, penghinaan dan kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat atas nama otoritas negara semakin keterlaluan.
Bayangkan, Freeport yang telah menghancurkan bumi dan rakyat Papua masih juga diberi izin dan difasilitasi untuk mengeksploitasi Kalteng. Anda tidak akan temukan nama Freeport di sana sebab untuk mengelabui rakyat, Freeport sembunyikan diri dengan baju perusahaan lokal.
Rakyat tak diakui eksistensinya. Hutan dan lahan diberikan kepada korporasi seolah-olah wilayah itu tak berpenghuni. Di Kalimantan Timur, misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat luas konsesi untuk korporasi pertambangan, sawit, dan lainnya mencapai 21,7 juta hektar. Sementara itu, luas Kalimantan Timur sendiri hanya 19,88 juta hektar. Di Kalimantan Selatan dan Kalteng kondisinya tak jauh beda.
Penghinaan sistematis terhadap rakyat terlihat dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2010. Tak kurang dari 56 persen aset nasional yang mayoritas berupa tanah dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk.
Pemerintah telah memberikan sedikitnya 42 juta hektar hutan kepada perusahaan HPH, HTI, dan perkebunan. Sementara itu, Jatam mencatat 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.
Sementara itu, lahan yang dimiliki petani kian menyempit. Data BPS menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Selama 2011 jumlah petani berkurang 3,1 juta.
Penghinaan rakyat secara terang-terangan dilakukan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia menyatakan lahan kritis yang luasnya 20.000 hektar akan diberikan kepada rakyat untuk dikelola dan dipinjamkan selama 60 tahun.
Keterlaluan, hutan dan tanah produktif diserahkan kepada korporasi dan setelah kritis baru diberikan kepada rakyat. Keuntungan dinikmati korporasi, sedangkan limbah, sampah, dan bencananya dibebankan kepada rakyat.
Akhir kata, boleh saja pihak Istana diguyur penghargaan dan dipuja-puji setinggi langit oleh pihak asing, tetapi apalah artinya itu bagi Indonesia kalau rakyat dan bangsanya terus dihina dan tak ada harganya.

*Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights


Sumber: KOMPAS.com

No comments:

Post a Comment