Translate Page

Monday, January 2, 2012

Masril Koto: Pendiri Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani yang Tidak Lulus SD

Masril Koto adalah pendobrak kebekuan fungsi intermediasi industri perbankan di bidang pertanian. Bersama para rekannya, petani yang tak tamat sekolah dasar itu mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 2007.
LKMA Prima Tani di Nagari Koto Tinggi itu menjadi cikal bakal program pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP) nasional. Kini, lebih dari 300 unit LKMA telah berdiri di seantero Sumbar atas dorongannya.
Setiap hari, Masril berkeliling ke beberapa wilayah Sumbar dengan sepeda motor keluaran tahun 1997, yang disebutnya suka ”agak berulah sedikit” hingga kadang masuk-keluar bengkel.
Akibat sering berkeliling, Masril relatif sulit ”ditangkap”.  Selama singgah dari satu tempat ke tempat lain itu, atas undangan kelompok tani, Masril selalu memotivasi agar LKMA didirikan sebagai solusi permodalan petani. Maka, dalam ranselnya tersimpan aneka perlengkapan penunjang aktivitas, seperti spidol, beragam contoh dokumen pendukung pendirian dan operasional LKMA, serta laptop.
”Laptop ini hadiah dari (ekonom) Faisal Basri, waktu kami undang ke Agam melihat LKMA,” kata Masril, yang mengaku bermodal keberanian untuk berhubungan dengan banyak orang. Segudang pengalaman dan orang dia temui dalam perjalanan yang menghabiskan biaya Rp 500.000 per bulan itu.
Perjalanan tersebut juga membuat dia jarang berkumpul dengan keluarga. Dalam sebulan hanya dua hari ia bersama istri dan anaknya di Nagari Tabek Panjang, Baso, Agam. Selebihnya, mereka berkomunikasi lewat telepon.
Proses panjang perjuangan Masril mendirikan LKMA diawali pada 2003. Sebagai petani, ia menanam padi serta membudidayakan jagung dan ubi jalar. Waktu itu ia ingin beralih menjadi petambak lele. Sampai suatu hari, ia bertemu seniman-petani Rumzi Sutan yang mendendangkannya lagu tentang cita-cita kemandirian petani.
Sejak itulah Masril bertekad memajukan petani. Ia lalu mengikuti sekolah lapangan (SL) petani dari Dinas Pertanian Sumbar di Nagari Tabek Panjang, Baso, Agam. Di sekolah lapangan itu, ia tersadar bahwa persoalan utama petani adalah permodalan. Hal ini tak bisa dipecahkan industri perbankan. Maka, tercetus ide untuk membuat bank petani, demi memenuhi kebutuhan mereka.
Di benak para petani pun relatif alergi terhadap pendirian koperasi. Jadilah ide Masril tak bersambut. ”Berdasarkan rapat evaluasi dan pengalaman kami selama ini, koperasi hanya menguntungkan para ketuanya,” ujar anak pertama dari delapan bersaudara ini.
Seusai mengikuti sekolah lapangan, ia mengumpulkan sejumlah rekan dan membentuk tim beranggotakan lima orang. Tugasnya, mencari tahu seluk-beluk pendirian bank petani. Tim itu dibekali dana pencarian informasi Rp 600.000. Mereka menemui para mantan pegawai bank, dinas terkait, dan mendatangi bank-bank umum.
”Saya ke (Kota) Bukittinggi mendatangi bank yang ada. Saya bilang ingin membuat bank, bisakah diberi pelatihan,” cerita Masril, yang dijawab para bankir itu, ”tak mungkin”.
Tahun 2006 mereka ke Padang guna mengikuti diskusi dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA). Saat itu sisa dana pencarian informasi Rp 150.000, masih dipotong uang bukti pelanggaran (tilang) lalu lintas Rp 40.000 gara-gara salah membaca rambu lalu lintas.
Dalam diskusi yang dihadiri pejabat Bank Indonesia itu, Masril diberi tahu bahwa dana perbankan cukup banyak. Dana itu bisa dimanfaatkan untuk modal kelompok tani.
”Saya bilang, kami ingin modal itu untuk membuat bank. Saya tanya caranya,” kata Masril, yang diyakinkan bisa mendirikan LKMA. Sejak itu dia rajin membaca buah pikiran Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Prof Mubyarto.
Modal mendirikan LKMA diperoleh lewat penjualan saham Rp 100.000 per lembar kepada ratusan petani. Setelah modal diperoleh, muncul masalah pembukuan. Mereka lalu mengikuti pelatihan konsultan dari Yogyakarta.
”Waktu itu ada LKMA di Kabupaten Pasaman yang sudah berdiri. Sewaktu kami mau belajar, ternyata harus membayar. Jadilah kami belajar langsung dari ahlinya,” kata Masril yang tak memungut uang jasa setiap kali berbagi pengalaman tentang LKMA. Beragam produk tabungan atau pinjaman berbasis kebutuhan langsung petani secara spesifik ditelurkan LKMA, seperti tabungan ibu hamil, tabungan pajak motor untuk pengojek, dan tabungan pendidikan anak.
Tahun 2007, Menteri Pertanian Anton Apriyantono meresmikan LKMA Prima Tani. Ia tercenung mendengar cerita Masril. ”Kalau Pak Menteri bikin seperti yang saya lakukan, tentu hasilnya lebih cepat bagi petani,” ceritanya tentang pertemuan itu. Setelah itu, pemerintah meluncurkan program PUAP.
Perjuangan Masril bukan tanpa hambatan. Berbagai cibiran pun datang, juga dari keluarga. ”Kepada istri saya katakan, jika kita ikhlas mengerjakan sesuatu, Insya Allah ada balasannya,” kata Masril. Hal itu terbukti. Tahun 2008 ia dikontrak perusahaan Jepang dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan. Kini, ia menjadi konsultan perusahaan Belanda bergaji Rp 3,5 juta sebulan.
Masril bertahan memajukan petani sebab ia tak ingin mereka terus-menerus dieksploitasi, terutama saat menjelang pemilihan umum. Kini, ia menyiapkan pembentukan lembaga bernama Lumbung Pangan Rakyat. Targetnya, mengganti peran Bulog yang tak bertugas menurut fungsi yang diamanatkan.
”Lumbung Pangan Rakyat sudah saya uji coba, tetapi masih memerlukan penyempurnaan. Tunggu saja, petani sudah punya kelompok tani sebagai ’perusahaan’, LKMA sebagai ’bank’, dan Lumbung Pangan Rakyat sebagai ’Bulog’-nya,” kata Masril bersemangat.

Sumber: Kompas

No comments:

Post a Comment