*Tulisan di bawah ini sebelumnya sudah dipublish di arabui2010.id. Seiring dengan hangusnya domain tersebut, makan terhapuslah postingan seri 'Mimpi itu...'. So, I repost it to share the whole story!
**Klik disini untuk teman-teman yang sebelumnya mau baca Bagian 1 dari serial "Mimpi Itu... Harus Dijemput"
**Klik disini untuk teman-teman yang sebelumnya mau baca Bagian 1 dari serial "Mimpi Itu... Harus Dijemput"
London, 10 Juni 2017
Mimpi itu tidak akan terwujud kalau tidak
dimulai dengan menyusun langkah-langkah untuk mewujudkannya. Tapi kadang-kadang
kita tidak punya banyak waktu untuk menunggu selesai menyusun langkah-langkah
tersebut karena kita harus membuat keputusan yang segera. Begitupun dengan
cerita saya di bagian ini. Dari Bukittinggi, besoknya ke Jakarta dan lusa ke
Pare. Dari hasil IELTS hingga reporter junior? Sebulan kemudian, dari koran
nasional ke beasiswa LPDP? Apa keputusan-keputusan spontan itu membuat saya
berhasil?
Oktober 2014
Sore itu di Bukittinggi, saya sedang duduk
di jendela rumah gadang ibu saya sambil bercengkrama via Line dengan salah
seorang sahabat karib saya. Dia bercerita dia berencana akan berangkat ke
Kampung Inggris untuk kursus Bahasa Inggris. Setelah saya bertanya-tanya
tentang keputusan dia ke Pare akhirnya saya tertarik ikut juga.
Dengan izin ibunda, saya pulang ke Jakarta
esok harinya (iya, besoknya banget) untuk mempersiapkan kebutuhan yg perlu
dibawa karena lusa saya sudah harus berangkat dan berada di kereta yang sama
dengan sahabat saya. Selama waktu singkat ini saya juga melakukan sedikit
research, bahasa sekarangnya, kepo, tentang apa-apa yang perlu saya ketahui
tentang belajar bahasa Inggris di pare. Tidak lupa saya menghubungi seorang senior
saya di Sastra Arab UI yang saya ketahui sedang belajar di sana.
Pertualangan menjemput mimpi selanjutnya dimulai!
Keberangkatan yang mendadak membuat saya
belum sempat mempersiapkan semua hal. Saya belum menentukan tempat tinggal dan
tempat les yang saya tuju. Tapi niat baik selalu mendapatkan jalannya. Sesampainya
di Pare, saya disambut oleh senior saya dan dikenalkan kepada teman
perempuannya dimana saya dan sahabat saya bisa beristirahat setelah semalaman
di perjalanan. Di sela-sela makan siang, senior saya dan teman perempuannya
memberi saya informasi tentang mencari tempat tinggal dan tempat les.
Perjalanan pertama hari itu adalah
berkeliling Kampung Inggris untuk mencari tempat tinggal. Ada tiga jenis tempat
tinggal yang bisa dipilih saat itu. Camp dari tempat kursus, camp yang terpisah
dengan tempat kursus dan kamar kos. Sore itu saya memilih sebuah camp yang
terpisah dari tempat kursus dan sempat merasakan beberapa malam di camp, tapi
pada umumnya camp punya jadwal-jadwal belajar dan ibadah (shalat dan mengaji)
yang wajib diikuti oleh penghuni camp. Saya secara pribadi tidak suka dengan
keramaian dan saat itu saya perlu tempat yang lebih tenang untuk belajar dan
apa yang saya pelajari berbeda dengan orang-orang di camp tersebut jadi saya
harus belajar sendiri. Jadi saya dan sahabat saya memutuskan pindah ke kos.
Disini saya merasa lebih nyaman, bisa tenang dalam belajar dan bisa mengatur
jadwal kegiatan saya sendiri.
Sekarang, tinggal pilih tempat kursus.
Sebelum kesini saya sudah lihat paket-paket apa yang ditawarkan oleh berbagai
macam tempat kursus dan saya sudah tahu paket apa yang sesuai kebutuhan saya.
Dengan bantuan senior saya tadi, saya diberi pencerahan tempat kursus mana saja
yang sesuai dengan kebutuhan saya. Ada banyak sekali tempat-tempat kursus di
Kampung Inggris, dan akan terus berkembang seiring banyaknya alumni yang lulus
dan membuka tempat kursus baru. Jadi, perlu dipelajari sebelum berangkat apa
yang dibutuhkan dan tempat kursus mana yang menawarkan program tersebut.
Tujuan utama saya ke Kampung Inggris adalah
mempersiapkan IELTS. Saya memberi waktu 2 bulan untuk diri saya sendiri. Dalam kurun
waktu tersebut, saya sudah menyelesaikan program Grammar Basic Program 2,
Writing, dan dua kali IELTS Preparation. Di luar kursus, saya menambah privat
untuk grammar dan ikut dalam study group untuk speaking IELTS. Semuanya
dilakukan Senin hingga Jumat dari jam 8 pagi hingga 9 malam sampai hampir tidak
ada waktu untuk main. Saya lebih sering mengakhirkan tidur demi mengerjakan
latihan tambahan. Kesempatan istirahat hanya di waktu makan siang atau makan
malam atau hari Sabtu dan Minggu.
Selain mempersiapkan bahasa Inggris, saya
juga mulai mencari tahu tentang universitas-universitas yang menawarkan program
untuk minat saya. Saya kirim email ke kampus-kampus tersebut atau mendaftarkan
diri ke milis-milis mereka. Setelah membuat list plus minus universitas
tersebut. Prioritas saya pertama jatuh pada SOAS, University of London dan
kedua Leiden University. Selama saya di Pare, saya dua kali bertemu dengan international
officer dari SOAS, pertama di Jakarta dan kedua di Surabaya. Saya mengejar
beliau yang sedang ada tugas ke Indonesia, demi bisa berdiskusi secara langsung
dan mengenali kampus tujuan saya. Setelah komunikasi yang panjang, saya pun semakin
mantap ingin kuliah di SOAS.
Januari 2015
Setelah 2.5 bulan, saya memutuskan untuk
ujian. Saya masih merasa belum siap, tapi saya percaya sampai kapanpun saya
tidak akan siap, kalau saya tidak paksakan siap. Ujian IELTS pertama, saya
pilih di Semarang, Jawa Tengah. Bukan tanpa alasan, setelah konsultasi dengan
guru kursus dan bertanya dengan teman-teman yang sudah ambil ujian IELTS
sebelumnya.
Pengalaman pertama selalu paling berkesan.
Begitu pula ujian IELTS pertama saya. Saya dapat giliran speaking pertama dari
sekian banyak peserta ujian. Setelah 3 jam mengerjakan soal Listening, Reading
dan Writing, menurut saya, energi saya sudah terkuras dan membuat speaking saya
menjadi tidak maksimal, meskipun pengujinya adalah kakak bule cantik. Nervous karena
ini ujian pertama saya ditambah kelelahan, jawaban saya pun semakin
kemana-mana, pointless.
Hasil IELTSnya?
Ternyata tidak seperti dugaan saya. Tapi
lebih buruk! Nilai saya tidak sesuai dengan target, tapi jauh di bawah. Dengan
overall 6.5 dan nilai Writing saya hanya 6.0. Begitu mendapat hasil ielts ini,
hati saya hancur. Bagaimana tidak, selama di Kampung Inggris, saya sudah
meriset soal universitas-universitas yang ingin saya tuju. Target utama saya,
SOAS, University of London, mengharuskan overall IELTS score 7.0 dan minimum
6.5 untuk salah satu section. Tentu skor IELTS saya tidak mencukupi syarat
utama SOAS
Februari 2015
Karena mimpi saya tergerus dengan hasil
IELTS yang tidak cukup, sementara uang tabungan hasil saya mengajar paruh waktu
selama kuliah sudah habis untuk biaya hidup dan kursus di Kampung Inggris dan
malu untuk meminta uang yang nominalnya tidak sedikit kepada Ibunda, saya
memutuskan untuk bekerja sebagai reporter junior di salah satu media cetak
nasional. Mimpi saya tutup buku (sementara).
Maret 2015
Hanya sebulan, sebelum akhirnya saya
memutuskan untuk berhenti menjadi reporter. Ada konsekuensi dan harga yang
harus saya bayar untuk berhenti dari pekerjaan di waktu sedini ini. Terdapat
beberapa alasan pribadi, namun yang paling penting adalah karena pendaftaran
beasiswa LPDP, beasiswa paling bergengsi dari pemerintah Indonesia, akan
ditutup bulan depan. Jika saya tetap menjadi reporter junior, saya tidak akan
bisa mempersiapkan dokumen pendaftaran saya. Reporter Junior itu pekerjaan 24
jam 7 hari seminggu. Baiklah, saya berhenti. Saya memulai dokumen pendaftaran
dan kembali ke jalur yang benar. Score IELTS saya masih dalam batas syarat
beasiswa LPDP dan setelah saya baca tulisan orang-orang yang sudah lolos
beasiswa ini mereka tidak harus punya surat tanda diterima di universitas
terlebih dahulu. Siapa tau saya lolos beasiswa LPDP dulu baru mendapat surat
penerimaan dari SOAS setelah ujian IELTS lagi. Siapa tau? Harapan baru!
April 2015
Yang pertama saya lakukan adalah membaca
syarat pendaftaran dari buku panduan yang bisa diunduh di langsung di website
LPDP. Membaca disini tidak berarti hanya sekali, tapi berkali-kali, karena saya
perlu mengecek syarat mana yang sudah saya penuhi dan yang belum saya penuhi
dan bagaimana memenuhinya dan membuat list dari syarat tersebut. Kedua, membuat
akun pendaftaran di halaman LPDP. Ketiga, mempelajari contoh esai dari
teman-teman yang sudah ada diterima beasiswa LPDP. Tidak ada guideline khusus
dalam membuat esai LPDP. Pendaftar hanya diminta menjawab pertanyaaan saja.
Tapi dengan mempelajari esai orang lain yang sudah berhasil, kita mendapat
poin-poin yang harus bisa ditonjolkan dalam esai tersebut. Keempat, menghubungi
dosen-dosen terdekat yang bisa saya mintai surat rekomendasi. Sekalian menjalin
silaturahim, mendiskusikan rencana kita dengan beliau-beliau yang sudah lebih
dulu kuliah di luar negeri bisa jadi tambahan semangat dan perspektif baru. Kelima,
tentukan negara (jika luar negeri) dan kampus dan jurusan tujuan. Kenapa
dipilih sekarang sebelum buat akun aplikasi? Karena ketika sudah buat akun,
kita tidak bisa mengganti data tersebut. Terakhir, buat akun dan lengkapi
syarat-syarat pendaftaran. Submit!
Mei 2015
Seleksi tahap pertama adalah seleksi
administrasi dan saya lolos! Harapan melanjutkan studi semakin besar. Satu
tahap lagi, yaitu seleksi substansi, yang dijadwalkan di akhir bulan. Tidak banyak
yang bisa saya ceritakan, karena menuju ke hari seleksi substansi, saya hanya
mempersiapkan segala sesuatu dari internet, membaca pengalaman-pengalaman
penerima beasiswa tentang seleksi substansi yang mereka jalani, bagaimana
teknis seleksinya dan pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkan oleh interviewer.
Hari seleksi tiba. Semua berjalan lancar, setidaknya
menurut perasaan saya, kecuali wawancara. Seorang interviewer adalah professor
di bidang yang sama menginterview saya dalam bahasa Arab tentang Arab Springs,
sementara interviewer yang lain bertanya dalam bahasa Inggris. Satu hal yang
saya tidak antisipasi. Setelah satu tahun lulus dari Sastra Arab UI, dan dua
tahun tidak mengulang pelajaran Kemampuan Bahasa Arab, jadi saya tidak mampu
menjawab dalam bahasa Arab, dan saya menjawab dalam bahasa Inggris. Seakan
berusaha terus menekan saya, beliau terus bertanya dalam bahasa Arab. Saya
mengerti apa yang beliau tanyakan. Hanya saja saya tidak bisa menjawab dan
menjelaskannya dalam bahasa Arab. Dan interview saya berhenti sampai disitu.
Sekeluarnya dari tempat seleksi saya
bergegas menuju parkiran, saya duduk di bangku kemudi dan memanaskan mobil. Dan
air mata saya tumpah meluapkan emosi kegagalan saya.
Sesampainya di rumah, Ibu saya bertanya
bagaimana interview tadi, saya senyum menggeleng pelan dan berlari mengurung
diri di kamar.
Juni 2015
Akhir
ceritanya bisa ditebak? Saya tidak lulus seleksi substansi. Saya tidak lolos
beasiswa LPDP.
Tiga
kegagalan besar berturut-turut mengikuti keputusa-keputusan saya dalam kurun
waktu 6 bulan, dari IELTS yang di bawah target, memulai karir yang saya tidak
mampu selesaikan, dan tidak lolos beasiswa LPDP, membuat saya berpikir bahwa
saya membuat keputusan-keputusan hanya untuk gagal. Di awal tahun yang sama,
saya juga mencoba beasiswa Australian Awards Scholarship, dan saya gagal di
tahap administrasi. Rasanya apa yang saya kerjakan selalu berakhir pada
penolakan. Saya sudah tidak mau berangan apa-apa lagi. Apa lagi bermimpi untuk
bisa melanjutkan magister di kampus impian saya. Mustahil!
Jadi
mimpinya gak jadi dijemput?
Tunggu
part 3!
……………………..
Tautan
yang perlu dilihat tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan cerita di atas
Kampung
Inggris, Pare
Timeline
beasiswa LPDP 2017 http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Jadwal-pendaftaran-2017.pdf
……………………..
Butuh waktu tiga hari untuk saya menulis bagian ini. Padahal bagian pertama hanya butuh waktu 4 jam. Ada dua alasan. Pertama, bagian ini lebih panjang karena menceritakan beberapa momen dalam satu bagian. Kedua, ternyata pengalaman gagal itu lebih susah diceritakan dibanding pengalaman sukses. Bagian ini bagian serius dan sedih. Bahkan selesai saya menulisnya, saya jadi merenung. Mudah-mudahan teman-teman yang membaca pun ikut berkontemplasi, melihat kembali dari titik awal sebelum mulai perjuangan, apa-apa yang membuat kita sekarang gagal. Tidak perlu terburu-buru. Selamat berkontemplasi!
No comments:
Post a Comment