*tulisan di bawah ini sebelumnya sudah dipublish di arabui2010.id. Seiring dengan hangusnya domain tersebut, maka terhapuslah postingan seri 'Mimpi itu...'. So, I repost it to share the whole story!
(Seri ‘Mimpi Itu…’ bagian 1)
London, 23 April 2017
“Mimpi itu
harus dijemput!” pernah saya dengar di suatu kesempatan atau buku atau
postingan motivator-motivator di media sosial. Menurut saya, ini adalah judul
yang tepat untuk tulisan saya berikut ini. Kenapa? Baca dulu ceritanya.
(Semester 7, Akhir 2013)
Prof Joel S. Kahn,
seorang visiting Professor dari University of Melbourne hadir di dalam kelas
Islamologi yang sedang saya ambil untuk mendengar penjelasan tentang laporan
penelitian bang Lathif (Arab 2008) mengenai praktik Sufi di Purworejo, Jawa
Tengah.
Seperti biasa, saya
duduk di barisan bangku paling belakang. Bangun untuk kelas jam 8.00 pagi di
hari Jumat adalah hal terberat (iyalah bau-bau akhir pekan, sob!), meskipun
saya suka sekali mata kuliah latar belakang seperti Islamologi ini. Laporan
penelitian lapangan bang Lathif menarik perhatian saya, karena menurut saya
menemukan hal baru yang orang lain tidak banyak tahu dan bisa membaginya dalam
bentuk tulisan akademis itu keren. Jadilah saya cukup aktif bertanya dengan
bang Lathif dalam sesi tanya jawab tentang teknis penelitian dan hasil
penemuannya di lapangan.
Sorenya, bu Emma
Soekarba, dosen kami untuk mata kuliah Islamologi mencari saya dan saya
menemuinya di jurusan. Tidak ada pikiran lain selain “ah paling urusan jurusan
atau IKABA’,” di otak saya karena saya memang saat itu saya dalam kapasitas
tersebut. Disitu sudah ada Prof. Kahn sedang berbincang-bincang dengan beliau.
Jadilah, saya menyapa bu Emma dan memutuskan untuk menunggu beliau sehingga
selesai urusannya dengan Prof. Kahn. Ternyata, bu Emma malah mengajak saya
duduk bareng dengan beliau dan Prof. Kahn. Dikenalkan dengan salah satu
professor penting dari Australia waktu itu menurut saya di luar ekspektasi
saya. Sampai saya bertemu dengan Prof. Kahn saya cuma pengen jadi pramugari
yang kerjaannya terbang keliling dunia (gak ada hubungannya sama Sastra Arab,
emang).
Dari obrolan saya dengan Prof.
Kahn, mungkin bu Emma melihat sesuatu dalam diri saya (yang saya sendiri waktu
itu gak lihat) jadi beliau menyarankan saya untuk berdiskusi lebih jauh tentang
melanjutkan studi ke luar negeri dengan Prof. Kahn. Gayung pun bersambut,
beliau mengiyakan saran bu Emma dengan mengundang saya ke ruangannya di minggu
berikutnya. Tanpa sadar
saya pun menjadi sangat excited dan menunggu waktu yang dijanjikan tiba!
Datang dengan tangan kosong menemui orang sehebat
Prof. Kahn bukan impresi yang baik. Jadilah menuju hari tersebut saya melakukan
riset mini tentang S2 di Australia: beasiswa, kampus, dan jurusan yang terkait
dengan minat saya saat itu. Ketika pertemuan tersebut, saya diberikan insight tentang sistem pendidikan Australia plus
beasiswa-beasiswa yang ditawarkan, motivasi dan hal-hal yang perlu disiapkan
dan bagaimana menyiapkannya, serta nama-nama orang penting yang bisa saya
mintai pendapat dan saran yang lebih spesifik. Hasil pertemuan tersebut adalah:
saya harus bisa kuliah ke luar negeri!
Sepanjang perjalanan
di tahun terakhir sarjana saya, bu Emma masih semangat mengenalkan saya dengan
orang-orang yang berpengaruh terhadap dunia pembeasiswaan (Nabila, Fairuz dan
Qolbi pasti ingat perkenalan pertama dengan Mr Ambassador of Turki untuk
Indonesia). Tapi yang harus diselesaikan terlebih dahulu apa yang ada di depan
mata, seperti…. (jangan disebut, jangan disebut, jangan disebut, please)
SKRIPSI! Hahaha serius ini adalah hal yang membuat akhir masa perkuliahan saya
di UI seperti roller-coaster, naik-turun, tangis dan (tidak banyak) tawa,
begadang dan kurang tidur dengan
berpuluh-puluh botol dan sachet kopi instan, diikuti dengan masalah internal
dan eksternal. Semua yang menulis skripsi pasti tau rasanya, jadi biarkan saya
menyudahi curhatan kenangan pahit masa-masa penulisan skripsi itu ya hahaha.
Dari awal pengumpulan
proposal ke pak Letmiros, saya sudah kena mini-sidang karena proposal saya
langsung dibaca di tempat, dan dibombardir pertanyaan-pertanyaan yang saat itu
saya juga belum tahu jawabannya. Pak, namanya aja proposal, isinya paling
“wallahu a`lam”, pengen jawab gitu tapi takut dimarahin hahaha. Setelah
dihujani pertanyaan, akhirnya beliau memutuskan bahwa pembimbing saya adalah…
bu Emma! Ketebak gak sih? Kebanyakan mahasiswa yang mengumpulkan proposal
tentang latar belakang pasti ngeri kalau dapat pembimbing beliau pasalnya
cerita yang sudah-sudah adalah bagaimana sulitnya menembus ACC dari beliau
(contohnya bang Lathif tadi, lulusnya di batas maksimum sarjana). Tapi namanya
juga Indah, kalau dikasih tantangan ya ditantang balik. “Saya harus bisa menyelesaikan
skripsi dalam waktu satu semester dengan nilai A, siapapun pembimbingnya. Juni
ACC, Juli sidang, Agustus Wisuda. Oke! Sip!”
Pada perjalanannya,
banyak hal yang ditanamkan oleh bu Emma untuk saya. Salah satu di antaranya
adalah kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Saya tidak pernah melakukan
penelitian lapangan sendiri sebelumnya, tapi kala itu saya harus melakukannya
sendiri, dan beliau yang percaya saya bisa mengerjakannya sendiri, dan nyatanya
memang bisa kok. Kedua, pengenalan pentingnya nilai orisinalitas terhadap kerja
akademik. Tulisan skripsi saya mengangkat topik tentang sejarah pesantren di
Sumatera Barat (bukan di Jawa) dan sedikit menyinggung peran pesantren dengan
pemberontakan melawan kolonialisme dan DI/TII. Maksudnya bukan belum ada yang
pernah bahas tentang hal tersebut, tapi bagaimana menghadirkan fakta dan
analisa baru yang berbeda dari karya-karya akademis sebelumnya. Ketiga,
kesantunan dan kepatuhan terhadap orang yang lebih tua. Beliau menekankan
pentingnya restu dan doa tidak hanya dari orang tua, tetapi juga orang-orang
yang dituakan seperti guru dan dosen. Saya ingat sepanjang penulisan tersebut,
saya kerap diingatkan untuk berdiskusi dengan dosen-dosen yang lebih senior di
bidang yang sama seperti pak Minal dan pak Juhdi. Terakhir, pentingnya
membangun koneksi dengan orang-orang hebat di luar lingkungan kita. Di atas
langit, masih ada langit. Kesadaran bahwa diri sendiri tidaklah paling hebat,
di luar sana masih banyak yang lebih hebat dan penting untuk diri sendiri untuk
membangun hubungan dan mengambil pelajaran yang orang-orang tersebut sudah
terlebih dulu alami dari kita.
Singkat cerita,
skripsi saya selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan dan sesuai target.
Terus kenapa saya bahas skripsi? Apakah
saya melupakan mimpi saya untuk melanjutkan master ke luar negeri? Atau
pemikiran saya pendek, hanya sanggup memikirkan dan merencanakan skripsi, tapi
tidak untuk memikirkan rencana jangka panjang seperti S2 dengan beasiswa?